Dinamika Cuaca Aceh dan Tantangan Baru Bencana Hidrometeorologi

Sumber visualisasi angin dan Siklon Tropis Senyar: Zoom Earth – citra satelit dan animasi cuaca berbasis data model numerik.
Saumi Syahreza – Divisi Bencana Hidrometeorologi dan Perubahan Iklim (HMCC) – TDMRC USK

Aceh kembali dilanda cuaca ekstrem dengan cakupan yang sangat luas. Dalam beberapa hari terakhir, hujan deras mengguyur berbagai wilayah, mulai dari Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Pidie Jaya, Pidie, Aceh Tenggara, Aceh Tengah, Aceh Besar, Aceh Barat, hingga Banda Aceh. Kondisi ini tidak hanya melanda kawasan pesisir, tetapi juga dataran tinggi dan daerah pegunungan, menunjukkan bahwa intensitas dan penyebaran dampak cuaca ekstrem kali ini jauh lebih meluas dibandingkan kejadian-kejadian sebelumnya. Situasi serupa juga terjadi di Sumatera Utara dan Sumatera Barat yang turut mengalami banjir, banjir bandang, dan longsor akibat sistem cuaca yang sama. Dari seluruh wilayah terdampak, Aceh menjadi provinsi dengan kerusakan terparah karena posisinya yang paling dekat dengan sumber gangguan atmosfer serta tingkat kerentanannya yang tinggi.

Pemicu utama cuaca ekstrem ini adalah Siklon Tropis Senyar, sebuah fenomena yang terbentuk melalui proses yang tidak lazim untuk wilayah Asia Tenggara. BMKG menjelaskan bahwa sistem ini awalnya muncul sebagai gangguan tropis di Laut Cina Selatan. Setelah melemah, sisa sirkulasinya bergerak perlahan ke barat melewati Thailand dan kemudian memasuki perairan dekat Selat Malaka. Di wilayah sempit tersebut, suhu permukaan laut yang hangat, kelembapan udara yang tinggi, serta pertemuan angin dari dua arah menciptakan lingkungan yang ideal untuk regenerasi sistem badai. Dari sinilah Senyar kembali menguat, berkembang menjadi depresi tropis, hingga akhirnya ditetapkan sebagai siklon tropis pada 26 November 2025. Kejadian ini sangat jarang terjadi karena Selat Malaka bukan kawasan yang biasanya mendukung pembentukan siklon, sehingga kemunculan Senyar memberikan sinyal penting bahwa dinamika atmosfer regional mulai berubah.

Dampak yang ditimbulkan Senyar di Aceh sangat besar. Hujan ekstrem terjadi ketika tanah di banyak wilayah sudah jenuh akibat dua bulan hujan berulang. Ketika hujan intens kembali turun, air tidak lagi terserap dan langsung mengalir cepat menuju sungai serta dataran rendah. Aliran deras dari kawasan pegunungan mempercepat terjadinya banjir bandang, menyeret material kayu, lumpur, dan batu, serta menggenangi permukiman dalam waktu singkat. Longsor juga terjadi di berbagai daerah lereng yang kehilangan stabilitas akibat akumulasi curah hujan berkepanjangan. Daerah seperti Aceh Utara, Bireuen, Pidie Jaya, Aceh Tamiang, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, dan Aceh Barat mengalami kerusakan paling signifikan.

Bencana ini juga menyebabkan korban jiwa dalam jumlah besar. Di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, ratusan orang dilaporkan tewas dan hilang akibat terseret banjir bandang, tertimbun longsor, atau terjebak di wilayah yang aksesnya terputus. Banyak desa yang mengalami isolasi karena jalan tidak dapat dilalui, sementara cuaca ekstrem menghambat upaya evakuasi.

Kerusakan infrastruktur yang terjadi di Aceh merupakan salah satu yang terbesar dalam satu dekade terakhir. Sebanyak 21 jembatan dilaporkan ambruk, mencakup jembatan nasional, provinsi, dan kabupaten. Yang paling krusial adalah rusaknya tiga jembatan pada jalur utama Banda Aceh–Medan di kawasan Pidie Jaya dan Bireuen. Putusnya jalur nasional ini menyebabkan terhentinya distribusi logistik, tertundanya penyaluran bantuan, serta terisolasinya sejumlah wilayah hulu. Selain jembatan, terdapat delapan titik jalan yang amblas di berbagai lokasi Aceh, memperparah gangguan mobilitas dan menyulitkan akses menuju daerah terdampak. Pemadaman listrik lebih dari 24 jam di banyak wilayah, akibat kerusakan jaringan transmisi, semakin memperburuk situasi dengan memutus akses informasi, komunikasi, layanan kesehatan, dan kebutuhan dasar masyarakat.

Fenomena Senyar juga memberikan gambaran nyata bagaimana perubahan iklim memengaruhi dinamika cuaca di barat Indonesia. Pemanasan permukaan laut di Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan meningkatkan kandungan uap air atmosfer, membuat pembentukan awan konvektif dan hujan ekstrem lebih mudah terjadi. Selain itu, atmosfer yang lebih lembap dan pola angin yang berubah memungkinkan gangguan tropis untuk menguat kembali di lokasi yang sebelumnya tidak dianggap berisiko. Jika Selat Malaka – yang  secara geografis sempit dan dekat daratan – dapat  menjadi arena regenerasi sistem siklon, maka peta risiko hidrometeorologi Aceh perlu diperbarui sepenuhnya.

Peristiwa ini menegaskan perlunya pendekatan mitigasi dan kesiapsiagaan yang lebih adaptif di Aceh. Sistem peringatan dini harus ditingkatkan melalui pemanfaatan radar cuaca, satelit, dan jaringan komunikasi yang menjangkau daerah terpencil. Peta risiko banjir dan longsor perlu diperbarui berdasarkan skenario perubahan iklim, bukan hanya data historis. Infrastruktur kritis seperti jembatan, jalan, dan jaringan listrik harus direkonstruksi dengan standar ketahanan yang lebih tinggi. Di tingkat lingkungan, daerah tangkapan air harus dipulihkan dan tata ruang harus ditegakkan untuk mengurangi tekanan pada kawasan hulu. Selain itu, literasi kebencanaan bagi masyarakat perlu diperkuat agar respons warga lebih cepat dan tepat ketika menghadapi cuaca ekstrem.

Siklon Tropis Senyar bukan sekadar badai, tetapi peringatan keras bahwa Aceh dan wilayah Sumatra bagian utara sedang memasuki era baru risiko iklim. Curah hujan ekstrem, banjir besar, longsor, korban jiwa, pemadaman listrik panjang, serta ambruknya puluhan jembatan dan ruas jalan memperlihatkan bahwa kapasitas mitigasi saat ini belum sebanding dengan ancaman yang terus meningkat. Untuk mencegah kejadian serupa di masa depan, Aceh membutuhkan komitmen kuat untuk memperkuat sistem adaptasi dan mitigasi berbasis sains. Cuaca ekstrem mungkin tidak dapat dicegah, tetapi dampaknya dapat dikurangi jika tindakan dilakukan dengan tepat, cepat, dan terarah.

Similar Posts